Nama
E-mail
Alamat
Komentar

Kode Verifikasi
                
SMPN 2 PENAJAM PASER UTARA       Alamat: Jl. Negara KM 35 Tengin Baru, Kecamatan Sepaku Kode Pos 76148
My Link
Aplikasi Dapodik
Jajak Pendapat
Bagaimana menurut Anda tentang tampilan website ini ?
Bagus
Cukup
Kurang
  Lihat
Agenda
08 December 2024
M
S
S
R
K
J
S
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

ELLEGI SEBUAH PERMINTAAN

Tanggal : 21-02-2014 19:35, dibaca 1868 kali.

      Sunyi di dalam rumah. Sunyi dan sepi. Semilir angin pagi lembut menyapa Bestari. Mentari baru sepenggalah meninggalkan peraduannya, cahayanya semburat kemasan menyibak dinding bambu di lereng hijau. Kabut putih bak salju menelan sebuah rumah mungil nan bersahaja, pelahan mulai pudar. Satwa pagi bercanda membelah sunyi. Bestari terus bernyanyi. Suara lembutnya menyatu dengan damainya pagi, membias harmoni sangat merdu. Ya.. sangat merdu sekali.

        Direngkuhnya Rianto, bayi mungil montok nan lucu itu tenggelam dalam isaknya yang pilu. Ibu muda itu terus mengalunkan tembang ‘’ Ilir–Ilir ‘. Sesekali diguncang-guncangnya tubuh mungil itu dalam pinangannya. Bestari terus bernyanyi. Nyanyian ibu muda itu menggema menyibak sunyi. Rianto mulai tertidur dalam dekapan kasih Bestari. Ada yang menyeruak pelahan dalam dada Bestari. Desir nadinya berdegap pelan, sementara sebongkah kerinduan menghentak-hentak jiwa Bestari.

        "Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku sebagai makhluk yang bertanggungjawab. Aku hanya ingin mengubah keadaan, aku hanya ingin kita memiliki harapan dan masa depan, "Yah..kerinduan yang wajar dan sederhana‘’ kata-kata itu terus semakin jelas terngiang ditelinga Bestari. Gaungnya meresap dan menembus jauh ke dalam relung hatinya.

      "Pergilah, Kang…,percayalah aku akan jaga buah kasih kita’’ bisik Bestari pelan. Parjo terkesima sejenak. Tanpa berkedip dipandangi buncit perut Bestari. Tatapannya tajam. Parjo semakin terharu. Ditiling-tilingkan daun telinganya, seperti ada bisikan lembut namun terasa menghujan dada Parjo. Ya…bisikan polos, lembut nan jujur yang menyeruak dari balik dinding perut yang membuncit. Parjo tersentak.

        Semakin jauh Bestari tenggelam dalam pelukan Parjo. Otot lengan kekar lelaki itu semakin erat merengkuh. Ada sebongkah rasa haru, sedih, iba dan berjuta rasa yang lain, yang saling berebut untuk dirasakannya. Dalam dadanya yang bidang, tanpa disadari dari kedua kelopak mata Bestari mengalirlah cairan bening mengkristal jatuh membelah pipinya yang ranum. Perempuan itu kelewat sedih. Sesekali diusapnyalah sepotong wajahnya dengan punggung tanggannya.

         Kepiluan hatinya, melambungkan jiwa menerobos jauh melampaui logika perempuan itu. Nalurinya selalu berbicara tentang keadilan, tapi desah nafas dan nadinya selalu membaur dalam sebuah tembang ‘’ Ilir-Ilir ‘’ yang sarat dengan nilai-nilai luhur, meski penuh sanepan yang perlu penterjemahan dengan seksama., namun cukup kuat mencengkeram, rem, jiwa Bestari.    

        "nDok,.Tari.. ‘’ Suara berat  pakde Jamad itu membuyarkan sejenak kenangan Bestari. Laki-laki tua itulah yang selalu ada untuk Bestari, dengan ajaran-ajaran yang bijak, yang seolah mampu membangkitkan semangat. ’’Hidup harus terus berjalan, ndok. Ingatlah bahwa tiga hal yang terjadi dalam hidup manusia, yaitu ; ajal, jodho dan rejeki itu semua kapurbo dening Gusti Allah". Terang pakde Jamad bijak. Ada seberkas rasa teduh yang mengaliri jiwa Bestari.

        "Seluruh jalan kehidupan manusia di dunia ini, sesungguhnya telah digariskan oleh Gusti Allah, jauh sebelum manusia dilahirkan, ndok. Kita ini Cuma ‘’ sak dremo nglakoni, wayang, ibaratnya. Jadi ada dalang yang menjalankan, itulah sebabnya jangan sampai hilang sabar dan tetap tawakal, nDok" lanjut pakde ditengah kepulan cerutu linthingan dari sela bibir pakde Jamad. Kata bijak pakde Jamad separti itulah yang selalu membelai jiwa Bestari, memberi roh dalam kehidupannya, bahkan menjadikan semakin asri dalam jiwa Bestari yang sesungguhnya mulai meranggas.

        "si mBok bilang, katanya mau kasih tau Rianto, siapa sih mbok bapaknya Rianto ?" Tanya Rianto ditengah gemericik pancuran bambu. Tubuh cilik telanjang itu setengah menggigil dalam dingin air pancuran pagi. Belahan bibirnya gemertak, namun pertanyaan lugu dengan tatapan polos itu menghujan hati Bestari. Bagai tersengat halilintar disiang bolong Bestari mendengar pertanyaan bocah empat tahun itu. Ketakutan, kekhawatiran yang selama ini menggelayut berat membebani pikiran dan jiwanya, terbukti sudah..

      "Rian, sayang…bapak masih pergi Nak, bapak masih cari uang buat beli mainanmu, Nak" Bestari berkilah sekenanya. Ada perasaan bersalah yang berkecamuk keras mendera hati Bestari di balik kebohongannya." Maafkan si mBok ya Nak, kalau si mBok berdusta. Si mbok terlalu besar memberi harapan, impian kepadamu, Nak, tapi percayalah, kelak jika engkau telah mengerti arti hidup, pasti mBok jelaskan semuanya" bisik lirih di relung hati Bestari.

       Sunyi di dalam rumah. Sunyi dan sepi.  Semburat merah keemasan menghias lazuardi. Diufuk barat mentari terasa lelah melintasi cakrawala. Hembusan bayu semilir menyibak sunyi. Roda kehidupan terus berputar, segala misteri yang terjadi dalam hidup, ada yang terkuak tetapi tidak sedikit pula yang tetap terselubung, misteri tanpa jawab. Rianto tidak mengerti. Tetapi hatinya terlalu yakin bahwa si mbok nya yang dia kagumi dan banggakan menyimpan misteri itu. Kadang Rianto memandang wajah ibunya, jelas dipelupuk mata Rianto, dibalik wajah ayu ibunya tersimpan beban misteri yang menuntut jawaban. Tetapi semakin dorongan kuat berkecamuk dalam diri Rianto untuk menguak misteri, semakin kuat pula rasa iba sehingga Rianto harus membunuh rasa ingin tahu yang selama ini menjadi misteri belum terjawab.

            Entah sampai kapan pikiran Rianto harus selalu berbalut teka-teki itu, baginya ketenangan bathin si mboknya adalah segalanya sehingga keberaniannya untuk menguak misteri itu semakin tergerus. Dia sadar, beban yang disandang si mboknya selama ini sangat berat, dia tahu kerut kening si mboknya itu mengisyaratkan betapa beratnya perjuangan hidup. Kadang Rianto merasa trenyuh, selaksa rasa iba selalu menggelayut di kedalaman jiwanya. Baginya sosok Bestari bagai malaikat suci yang selalu dihormatinya. Rianto tersentak. Suara adzan di sore itu membuyarkan lamunannya. Ya..panggilan suci bagi manusia untuk mengumpulkan bekal di perjalanan abadi, termasuk Rianto melaksanakan kewajiban makhluk terhadap sang khalik.     

        Sunyi di dalam rumah, sunyi dan sepi. Pepohonan kaku membisu. Deretan kamboja tua, yang sebagian batangnya tampak lapuk termakan usia, sementara rimbun dedaunan tak nampak lagi. Semuanya meranggas. Anginpun tak bergerak. Batu nisan yang berjejer bagai prasasti yang mengisyratkan kepada manusia, bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Semuanya fana. Semuanya berakhir, dan tinggal puing-puing gambaran betapa sesungguhnya begitu kecilnya arti kehidupan manusia itu. Di antara jejer nisan itu, sepasang anak manusia tengah berangkulan, tenggelam dalam isak yang memilukan. "Rian, anakku," bisik Bestari lirih. Sepasang mata perempuan itu sembab memerah. "Maafkan, si mbok Nak,.. kini saatnya mbok katakan sejujurnya. Tujuh belas tahun mbok memendam perasaan ini, selama itu pula mbok berdusta padamu, Nak. Bukan apa, tetapi si mbok hanya ingin cari waktu yang tepat, dan saat ini mbok pikir waktu yang tepat untukmu, anakku" Rianto tak mengerti, tetapi tulisan "Parjo" bertengger di batu nisan sederhana itu mengusik perasaannya. "Rianto, anakku.. sebenarnya, yang dibalik nisan inilah bapakmu terbaring." Jelas perempuan itu terbata. Rianto terkesiap sejenak, tetapi dia tetap berusaha membujuk hatinya untuk bersabar, walau perih. "Ketika itu, kamu masih berusia tujuh bulan dikandungan. Oleh karena, keinginan bapakmu mengubah keadaan hidup, bapakmu pergi ke negeri tetangga sebagai TKI. Dua bulan bapakmu hidup dirantau, mestinya dia bahagia menyambutmu hadir di dunia ini, namun semua kerinduannya, semua impiannya pupus seketika. Bapakmu telah dipanggil Gusti Allah lima hari sebelum kamu lahir, Nak" lanjut Bestari. Rianto semakin trenyuh.

        Bestari semakin terisak didekapan Rianto muda. Kedua lengannya tampak terguncang oleh isak tangis perempuan itu. "Itulah sebabnya, anakku, mbok baru katakan sekarang, mbok pikir engkau sudah sanggup menerima keadaan. Biarlah bapakmu istirahat dalam damai disisiNya, Nak. Kita harus iklas menerima kenyataan ini" jelas Bestari lirih. Rianto tampak semakin sedih. Jawaban si embknya yang selama ini ia dambakan terkuak sudah. Rianto menyadari, berat bagi mboknya untuk mengatakan semua ini. Ada seonggok doa dalam dada Rianto, ya doa yang mengalun lembut nan tulus, ya seonggok doa buat Parjo, bapaknya. "Duh, Gusti… kini dibalik kekeluan lidahku, kupasrahkan seluruh jalan kehidupanku. Gusti, Engkau yang maha tahu, bahkan segala apa tidak ada yang tersembunyi dihadapn-Mu, meski tiada Engkau ijinkan kumelihat bapakku, tapi jawaban semua ini sangat berarti bagiku..’’ bisiknya lirih.

        Rembang petang datang membayang. Guratan kemasan diufuk barat pelahan memudar, sementara canda satwa mengisyaratkan bahwa kehidupan hari ini akan berakhir, sementara malampun menjelang. Begitulah putaran roda kehidupan. Namun yang pasti tiada seorangpun memiliki kuasa memahami tekai-teki dan rahasia kehidupan, semuanya bagai fatamorgana yang pelahan lenyap tertelan bumi.

 

Pengantar Penulis.

 

  Cerita Pendek "Ellegi Sebuah Permintaan" adalah karya Fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar semua itu terjadi hanya secara kebetulan saja. Tidak ada unsur kesengajaan. Penulis berharap cerita ini dapat mengantarkan sebuah amanat, bahwa dalam kehidupan yang sarat misteri dan teka-teki semua memang harus terjadi. Bukti bahwa, semua itu "Kapurbo dening kawoso", manusia hanyalah sekadar berencana, tetapi pada akhirnya, Dia-lah penentu segalanya. Tabah, sabar serta tawakal perisai dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.

 

Penulis               : JOKO TRIHARTOKO, S.Pd

Alamat Sekolah   : SMP Negeri 2 Penajam Paser Utara, Jl.Negara KM.35

                            Kec.Sepaku.

Alamat E-mail  : [email protected]



Pengirim : Joko Trihartoko


Share This Post To :

Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
Komentar FB
Komentar Standar

Komentar Melalui Facebook :




Silahkan Isi Komentar dari tulisan artikel diatas
Nama
E-mail
Komentar

Kode Verifikasi
                

Komentar :


   Kembali ke Atas